Oleh: Mas Imam.
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. al-‘Ashr).
Hari berganti hari, bulan pun berganti, seperti halnya tahun yg juga terus bergulir. Apa yang terlintas di benak kita saat berlalunya waktu, tak bisa dipisahkan dengan pemahaman kita. Bagi seorang Muslim, waktu adalah kehidupan. Allah banyak menggunakan ‘waktu’ untuk bersumpah: wadh-dhuha, wal laili, wal fajr, wal ‘ashr, dan lainnya.
Para mufassirin mengatakan, sesuatu yang dijadikan sebagai alat sumpah oleh Allah, berarti sangat penting dan bernilai. Masyarakat Arab punya ungkapan “al-waqtu kassaif”, waktu adalah pedang. Jika tidak digunakan untuk memotong, maka ia akan memotong leher kita.
Mengacu pada ungkapan tersebut, selayaknya kita mengevaluasi waktu kita selama ini. Apakah telah diisi dengan amal shalih ataukah banyak yang berlalu sia-sia tanpa nilai disisi Allah. Kalau saja Allah takdirkan usia hidup kita rata-rata 60 tahun, berapa banyak waktu yang sudah kita gunakan untuk ibadah? Kurangnya pemahaman dan pendidikan keislaman menjadi salah satu penyebabnya. Jika aqil baligh itu dicapai pada usia 12 tahun, berarti selama itu pula, waktu berlalu tanpa nilai kebaikan.
Belum lagi tidur kita, sebagai kebutuhan, yang rata-rata menghabiskan 6 jam sehari. Ini sama dengan seperempat hidup atau 15 tahun waktu untuk tidur yang mungkin tidak bernilai disisi Allah.
Seperti kita ketahui, budaya menonton TV di era globalisasi ini, sudah menjadi pola hidup, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Ada penelitian yang mengatakan bahwa di abad informasi ini, orang menghabiskan seperenam waktunya atau 4 jam sehari untuk menonton TV. Berarti sekitar 10 tahun dari 60 tahun waktunya digunakan untuk menonton.
Dari hal ini kita bisa merenungkan, waktu yang tersisa untuk beribadah hanya 23 tahun, sangat sedikit dibandingkan umur yang Allah berikan. Itupun kalau memang 23 tahun tersebut benar-benar kita curahkan untuk beribadah. Tetapi, yang 23 tahun itu ternyata belum termasuk kemaksiatan atau dosa kejahatan yang kita lakukan semasa hidup, semakin mengurangi waktu kita dalam mengumpulkan kebaikan.
Apakah kita mampu beribadah terus-menerus tanpa melakukan dosa selama 23 tahun? Lalu bagaimana kita menyiasatinya agar sisa waktu yang pendek itu bisa efektif dalam meraih banyak kebaikan?
Perlu adanya kiat-kiat cerdas dalam mengelola keterbatasan usia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membimbing kita untuk mendayagunakan potensi sambil menyiasati keterbatasan dalam mencapai amal yang bernilai besar. Kiat-kiat tersebut antara lain: Pertama, selalu berniat dalam setiap amal. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyaat”.
Siapa yang beramal diniatkan karena Allah 'Azza wa Jalla, maka akan mendapatkan ridha dan rahmat-Nya. Sebaliknya, barangsiapa yang berniat untuk selain Allah, maka amalnya akan sia-sia disisi Allah dan tidak berdampak kebaikan bagi kehidupan akhiratnya.
Semua amal yang diniatkan dalam rangka mencari ridha Allah, walaupun itu urusan duniawi, maka akan berubah menjadi amal shalih yang bernilai ibadah disisi-Nya. Bekerja, berorganisasi, bermasyarakat, bergaul, bahkan tidur sekalipun, jika diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka akan bernilai ibadah. Dan setiap amal yang diniatkan karena Allah, akan mengantarkan pelakunya untuk menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah. Dia akan berusaha menghindar dari hal-hal yang dimurkai Allah.
Namun, jika sebaliknya, beramal diniatkan untuk selain Allah, beramal karena riya’, ingin dipuji orang banyak, agar disebut orang pintar, atau atas nama seni dan keindahan, maka kemungkinan besar ia akan melanggar aturan Allah dengan tidak merasa berdosa apalagi merasa bersalah. Membuka aurat sekalipun hanya dianggap sebagai bagian dari seni keindahan, tidak masalah, bahkan dianggap profesional. Penyakit kemaksiatan di negeri ini pun seakan sudah menjadi tradisi yang sangat membudaya dan membunuh rasa malu dan harga diri.
Kedua, melakukan amal unggulan, yakni suatu amal yang jika dilakukan akan memiliki nilai besar dan berlipat. Ada banyak alasan sebuah amalan digolongkan unggulan, antara lain karena kesinambungan, bobot dan tingkat kesulitan, manfaat sosial, waktu, tempat maupun jenis amalannya.
Misalnya shalat di Masjidil Haram bernilai pahala yang berlipat ganda. Beribadah di malam qadar (lailatul qadr) yang mendapat ganjaran kebaikan seribu bulan atau 83 tahun, haji mabrur berbuah surga, jihad, shadaqah di jalan Allah, mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan mendidik anak menjadi anak shalih.
Dijelaskan dalam sebuah hadits, “Ada empat perkara yang mengalir pahalanya setelah pelakunya meninggal dunia, yaitu orang yang meninggal selagi giat-giatnya berjuang di jalan Allah, orang yang mengajarkan ilmunya, senantiasa mengalir pahala baginya, orang yang memberikan shadaqah akan mengalir shadaqah dimana saja shadaqah itu dilakukan, serta orang yang meninggalkan anak shalih dan anak itu selalu berdoa untuk kebahagiaan orang tuanya”. (HR. Ahmad dan ath-Thabrani).
Ketiga, melakukan berbagai amal dalam satu waktu. Misalnya seorang ibu yang memasak di dapur, ia harus melakukannya dengan ikhlas. Niatkan memasak sebagai upaya untuk membantu seluruh anggota keluarga agar terhindar dari kelaparan. Dengan demikian, ibadah mereka kepada Allah (shalat, mengaji, sekolah, bekerja) bisa dilakukan dengan khusyu’ dan benar. Selain itu, sambil memasak dengan tangan dan matanya, bibir juga bisa diajak mengumandangkan dzikir.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Ada dua kata yang dicintai ar-Rahman, ia ringan di bibir namun berat timbangannya disisi Allah, yakni Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim”. Wallahu a’lam bish-shawwab.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. al-Ankabut: 69). (***)
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. al-‘Ashr).
Hari berganti hari, bulan pun berganti, seperti halnya tahun yg juga terus bergulir. Apa yang terlintas di benak kita saat berlalunya waktu, tak bisa dipisahkan dengan pemahaman kita. Bagi seorang Muslim, waktu adalah kehidupan. Allah banyak menggunakan ‘waktu’ untuk bersumpah: wadh-dhuha, wal laili, wal fajr, wal ‘ashr, dan lainnya.
Para mufassirin mengatakan, sesuatu yang dijadikan sebagai alat sumpah oleh Allah, berarti sangat penting dan bernilai. Masyarakat Arab punya ungkapan “al-waqtu kassaif”, waktu adalah pedang. Jika tidak digunakan untuk memotong, maka ia akan memotong leher kita.
Mengacu pada ungkapan tersebut, selayaknya kita mengevaluasi waktu kita selama ini. Apakah telah diisi dengan amal shalih ataukah banyak yang berlalu sia-sia tanpa nilai disisi Allah. Kalau saja Allah takdirkan usia hidup kita rata-rata 60 tahun, berapa banyak waktu yang sudah kita gunakan untuk ibadah? Kurangnya pemahaman dan pendidikan keislaman menjadi salah satu penyebabnya. Jika aqil baligh itu dicapai pada usia 12 tahun, berarti selama itu pula, waktu berlalu tanpa nilai kebaikan.
Belum lagi tidur kita, sebagai kebutuhan, yang rata-rata menghabiskan 6 jam sehari. Ini sama dengan seperempat hidup atau 15 tahun waktu untuk tidur yang mungkin tidak bernilai disisi Allah.
Seperti kita ketahui, budaya menonton TV di era globalisasi ini, sudah menjadi pola hidup, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Ada penelitian yang mengatakan bahwa di abad informasi ini, orang menghabiskan seperenam waktunya atau 4 jam sehari untuk menonton TV. Berarti sekitar 10 tahun dari 60 tahun waktunya digunakan untuk menonton.
Dari hal ini kita bisa merenungkan, waktu yang tersisa untuk beribadah hanya 23 tahun, sangat sedikit dibandingkan umur yang Allah berikan. Itupun kalau memang 23 tahun tersebut benar-benar kita curahkan untuk beribadah. Tetapi, yang 23 tahun itu ternyata belum termasuk kemaksiatan atau dosa kejahatan yang kita lakukan semasa hidup, semakin mengurangi waktu kita dalam mengumpulkan kebaikan.
Apakah kita mampu beribadah terus-menerus tanpa melakukan dosa selama 23 tahun? Lalu bagaimana kita menyiasatinya agar sisa waktu yang pendek itu bisa efektif dalam meraih banyak kebaikan?
Perlu adanya kiat-kiat cerdas dalam mengelola keterbatasan usia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membimbing kita untuk mendayagunakan potensi sambil menyiasati keterbatasan dalam mencapai amal yang bernilai besar. Kiat-kiat tersebut antara lain: Pertama, selalu berniat dalam setiap amal. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyaat”.
Siapa yang beramal diniatkan karena Allah 'Azza wa Jalla, maka akan mendapatkan ridha dan rahmat-Nya. Sebaliknya, barangsiapa yang berniat untuk selain Allah, maka amalnya akan sia-sia disisi Allah dan tidak berdampak kebaikan bagi kehidupan akhiratnya.
Semua amal yang diniatkan dalam rangka mencari ridha Allah, walaupun itu urusan duniawi, maka akan berubah menjadi amal shalih yang bernilai ibadah disisi-Nya. Bekerja, berorganisasi, bermasyarakat, bergaul, bahkan tidur sekalipun, jika diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka akan bernilai ibadah. Dan setiap amal yang diniatkan karena Allah, akan mengantarkan pelakunya untuk menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah. Dia akan berusaha menghindar dari hal-hal yang dimurkai Allah.
Namun, jika sebaliknya, beramal diniatkan untuk selain Allah, beramal karena riya’, ingin dipuji orang banyak, agar disebut orang pintar, atau atas nama seni dan keindahan, maka kemungkinan besar ia akan melanggar aturan Allah dengan tidak merasa berdosa apalagi merasa bersalah. Membuka aurat sekalipun hanya dianggap sebagai bagian dari seni keindahan, tidak masalah, bahkan dianggap profesional. Penyakit kemaksiatan di negeri ini pun seakan sudah menjadi tradisi yang sangat membudaya dan membunuh rasa malu dan harga diri.
Kedua, melakukan amal unggulan, yakni suatu amal yang jika dilakukan akan memiliki nilai besar dan berlipat. Ada banyak alasan sebuah amalan digolongkan unggulan, antara lain karena kesinambungan, bobot dan tingkat kesulitan, manfaat sosial, waktu, tempat maupun jenis amalannya.
Misalnya shalat di Masjidil Haram bernilai pahala yang berlipat ganda. Beribadah di malam qadar (lailatul qadr) yang mendapat ganjaran kebaikan seribu bulan atau 83 tahun, haji mabrur berbuah surga, jihad, shadaqah di jalan Allah, mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan mendidik anak menjadi anak shalih.
Dijelaskan dalam sebuah hadits, “Ada empat perkara yang mengalir pahalanya setelah pelakunya meninggal dunia, yaitu orang yang meninggal selagi giat-giatnya berjuang di jalan Allah, orang yang mengajarkan ilmunya, senantiasa mengalir pahala baginya, orang yang memberikan shadaqah akan mengalir shadaqah dimana saja shadaqah itu dilakukan, serta orang yang meninggalkan anak shalih dan anak itu selalu berdoa untuk kebahagiaan orang tuanya”. (HR. Ahmad dan ath-Thabrani).
Ketiga, melakukan berbagai amal dalam satu waktu. Misalnya seorang ibu yang memasak di dapur, ia harus melakukannya dengan ikhlas. Niatkan memasak sebagai upaya untuk membantu seluruh anggota keluarga agar terhindar dari kelaparan. Dengan demikian, ibadah mereka kepada Allah (shalat, mengaji, sekolah, bekerja) bisa dilakukan dengan khusyu’ dan benar. Selain itu, sambil memasak dengan tangan dan matanya, bibir juga bisa diajak mengumandangkan dzikir.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Ada dua kata yang dicintai ar-Rahman, ia ringan di bibir namun berat timbangannya disisi Allah, yakni Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim”. Wallahu a’lam bish-shawwab.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. al-Ankabut: 69). (***)
Advertisement
0 Response to "Amal Efectif."
Post a Comment