Oleh: Mas Imam.
Salah satu tujuan dari peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dan tampaknya telah menjadi tradisi, terlepas dari tidak adanya contoh dari beliau dan para sahabat, pastilah untuk menumbuhkan rasa cinta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai wujud cinta kepada Allah Ta’ala. Dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ini pastilah menuntut sejumlah konsekuensi tertentu, bukan sekedar diwujudkan dengan kata-kata puja-puji atas Allah dan Nabi-Nya, atau sekedar bershalawat sambil memukul rebana.
Dalam konteks mencintai Allah dan Rasul-Nya, konsekuensi yang dituntut adalah keharusan kita untuk meneladani dan mengikuti beliau, dalam seluruh gerak langkah kehidupan beliau. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 31, yakni: “Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah (juga) mencintai kamu, mengampuni kamu dan menghapus dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan wujud mutlak bahwa siapapun yang mengaku cinta kepada Allah, sementara dia tidak mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia adalah pendusta sampai dia benar-benar mengikuti seluruh syariat beliau dalam hidup dan kehidupannya.
Sementara itu, dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa ketika menafsirkan QS. Ali Imran: 31 ini, Al-Azhari menyatakan bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya ditunjukkan dengan menaati keduanya dan menjalankan perintah keduanya. Sedangkan Sahal bin Abdillah menyatakan bahwa tanda cinta kepada Allah adalah mencintai Al-Qur’an, tanda cinta kepada Al-Qur’an adalah mencintai Nabi-Nya, dan tanda cinta kepada Nabi-Nya adalah mencintai Sunnahnya.
Allah SWT juga berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Akhir sementara dia banyak mengingat Allah” (QS. Al-Ahzab: 21). Bahkan dalam QS. Al-Qalam: 4 dinyatakan bahwa Allah memuji Rasul-Nya ini dengan kalimat Wa Innaka la’alaa khuluqin azhiim (Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang mulia). Begitu agungnya akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga ketika ditanya mengenai akhlaq beliau, Aisyah menjawab akhlaknya adalah Al-Qur’an.
Dalam upaya mencintai Rasulullah, para sahabat senantiasa berada dalam cahaya kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini tercermin dalam kehidupan praktis mereka serta penerapan perilaku kenabian dalam seluruh keberadaan para sahabat yang mulia ini. Dengan kata lain, para sahabat Rasulullah dan juga umat Islam pada saat itu benar-benar mempraktekkan kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupan mereka sesuai dengan kadar kemampuan mereka masing-masing sebagai wujud rasa cinta mereka kepada beliau. Sebab, mereka tahu benar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin melakukan suatu perbuatan kecuali semuanya benar-benar dalam kebaikan.
Kaum Muslimin generasi awal sesungguhnya lebih banyak mempraktekkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sikap mulia beliau daripada mengingat-ingat kelahirannya. Ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi kita sekarang yang lebih banyak melakukan peringatan Maulid Nabi seperti yang kita lakukan sekarang ini daripada memperbanyak amalan-amalan yang biasa dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam menyikapi kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang setiap tahunnya kita laksanakan, terlebih dahulu kita harus memahami bahwa beliau adalah manusia seperti kita juga. Hanya keistimewaan beliau yakni diberikan wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul bagi seluruh manusia, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kahfi: 110: “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, sesungguhnya Tuhan kalian adalah Rabb Yang Maha Esa”.
Dalam QS. Al-A’raf: 158, dinyatakan bahwa beliau adalah Rasulullah bagi sekalian manusia. Oleh karena itu, siapapun yang sering mengingatnya, maka wajib baginya untuk meneladani beliau dalam setiap gerak langkah kehidupan.
Ingat pada kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seharusnya kita tujukan untuk mengingat berbagai kenikmatan yang telah diberikan Allah kepada kita, yakni kenyataan bahwa ditangan Rasul-Nya ini, Allah memenangkan Islam di atas agama yang lain. Melalui beliau kita masuk ke alam pencerahan ilmu dan peradaban.
Hal ini terungkap dengan jelas dalam firman Allah, yang berbunyi: “Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik membencinya” (QS. Ash-Shaff: 9).
Dengan demikian, yang harus selalu kita ingat adalah bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan cikal bakal bagi kelahiran umat Islam, merupakan tonggak awal dalam menyebarkan kalimat Laa ilaaha illallaah. Jadi, bukan dengan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini kita peringati dengan berbagai perayaan, shalawat sambil mendendangkan nasyid, lomba pidato, lomba azan, atau yang lainnya. Bahkan sampai ada yang mengadakan festival band religius(?). Apakah ini bentuk perayaan yang kita inginkan? Tidakkah ada niat sedikitpun bagi kita untuk menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai idola tunggal dan contoh terbaik dalam hidup dan kehidupan kita? Apakah dengan beragam perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu kita sudah aman dan selamat dari adzab neraka?
Setiap tahun kita merayakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi begitu perayaan selesai, kita juga selesai dari mengingat keagungan Rasulullah. Bahkan, tidak jarang kita juga menghina dan mencaci-maki Islam dan Rasulullah. Banyak di antara kita juga yang memerangi Islam dan para pengemban dakwah, menghina ulama, padahal sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Yang anehnya, orang-orang yang menghina Islam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini tidak malu untuk mengaku bahwa mereka cinta Rasulullah. Wallahul musta’an. Sungguh, kebohongan dan kedustaan besar apabila kita mengaku cinta pada Allah dan Rasul-Nya tetapi kita tidak mau melaksanakan apa yang diperintahkan.
Oleh karena itu, kita harus memahami dengan benar bahwa kelahiran Muhammad sebagai Nabi dan Rasul bagi seluruh umat adalah sebagai kelahiran hukum-hukum Islam, jihad fi sabilillah dan menegakkan kemuliaan umat Islam di atas umat yang lain. Bukankah Allah telah menyatakan dalam QS. Ali Imran: 110, yakni: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Melakukan perbuatan ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman dengan sebenar-benar iman kepada Allah”.
Inilah sebenarnya hakikat dari mencintai dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, kerugian besar bagi kita apabila melaksanakan perayaan Maulid Nabi, tetapi tidak ada hikmah apapun yang bisa kita petik dari keagungan akhlak beliau. Yang paling penting bagi kita sekarang ini adalah memperdalam ilmu agama dengan benar, memupuk semangat jihad dan meningkatkan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah memenangkan kita di atas umat lainnya. Yakinlah bahwa jika kita menolong agama Allah, maka Allah juga pasti akan menolong kita sebagaimana firman-Nya; “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Allah. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al-Hajj: 40). Wallahu a’lam bish-shawwab.
Salah satu tujuan dari peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dan tampaknya telah menjadi tradisi, terlepas dari tidak adanya contoh dari beliau dan para sahabat, pastilah untuk menumbuhkan rasa cinta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai wujud cinta kepada Allah Ta’ala. Dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ini pastilah menuntut sejumlah konsekuensi tertentu, bukan sekedar diwujudkan dengan kata-kata puja-puji atas Allah dan Nabi-Nya, atau sekedar bershalawat sambil memukul rebana.
Dalam konteks mencintai Allah dan Rasul-Nya, konsekuensi yang dituntut adalah keharusan kita untuk meneladani dan mengikuti beliau, dalam seluruh gerak langkah kehidupan beliau. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 31, yakni: “Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah (juga) mencintai kamu, mengampuni kamu dan menghapus dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan wujud mutlak bahwa siapapun yang mengaku cinta kepada Allah, sementara dia tidak mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia adalah pendusta sampai dia benar-benar mengikuti seluruh syariat beliau dalam hidup dan kehidupannya.
Sementara itu, dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa ketika menafsirkan QS. Ali Imran: 31 ini, Al-Azhari menyatakan bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya ditunjukkan dengan menaati keduanya dan menjalankan perintah keduanya. Sedangkan Sahal bin Abdillah menyatakan bahwa tanda cinta kepada Allah adalah mencintai Al-Qur’an, tanda cinta kepada Al-Qur’an adalah mencintai Nabi-Nya, dan tanda cinta kepada Nabi-Nya adalah mencintai Sunnahnya.
Allah SWT juga berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Akhir sementara dia banyak mengingat Allah” (QS. Al-Ahzab: 21). Bahkan dalam QS. Al-Qalam: 4 dinyatakan bahwa Allah memuji Rasul-Nya ini dengan kalimat Wa Innaka la’alaa khuluqin azhiim (Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang mulia). Begitu agungnya akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga ketika ditanya mengenai akhlaq beliau, Aisyah menjawab akhlaknya adalah Al-Qur’an.
Dalam upaya mencintai Rasulullah, para sahabat senantiasa berada dalam cahaya kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini tercermin dalam kehidupan praktis mereka serta penerapan perilaku kenabian dalam seluruh keberadaan para sahabat yang mulia ini. Dengan kata lain, para sahabat Rasulullah dan juga umat Islam pada saat itu benar-benar mempraktekkan kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kehidupan mereka sesuai dengan kadar kemampuan mereka masing-masing sebagai wujud rasa cinta mereka kepada beliau. Sebab, mereka tahu benar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin melakukan suatu perbuatan kecuali semuanya benar-benar dalam kebaikan.
Kaum Muslimin generasi awal sesungguhnya lebih banyak mempraktekkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sikap mulia beliau daripada mengingat-ingat kelahirannya. Ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi kita sekarang yang lebih banyak melakukan peringatan Maulid Nabi seperti yang kita lakukan sekarang ini daripada memperbanyak amalan-amalan yang biasa dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam menyikapi kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang setiap tahunnya kita laksanakan, terlebih dahulu kita harus memahami bahwa beliau adalah manusia seperti kita juga. Hanya keistimewaan beliau yakni diberikan wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul bagi seluruh manusia, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kahfi: 110: “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, sesungguhnya Tuhan kalian adalah Rabb Yang Maha Esa”.
Dalam QS. Al-A’raf: 158, dinyatakan bahwa beliau adalah Rasulullah bagi sekalian manusia. Oleh karena itu, siapapun yang sering mengingatnya, maka wajib baginya untuk meneladani beliau dalam setiap gerak langkah kehidupan.
Ingat pada kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seharusnya kita tujukan untuk mengingat berbagai kenikmatan yang telah diberikan Allah kepada kita, yakni kenyataan bahwa ditangan Rasul-Nya ini, Allah memenangkan Islam di atas agama yang lain. Melalui beliau kita masuk ke alam pencerahan ilmu dan peradaban.
Hal ini terungkap dengan jelas dalam firman Allah, yang berbunyi: “Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik membencinya” (QS. Ash-Shaff: 9).
Dengan demikian, yang harus selalu kita ingat adalah bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan cikal bakal bagi kelahiran umat Islam, merupakan tonggak awal dalam menyebarkan kalimat Laa ilaaha illallaah. Jadi, bukan dengan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini kita peringati dengan berbagai perayaan, shalawat sambil mendendangkan nasyid, lomba pidato, lomba azan, atau yang lainnya. Bahkan sampai ada yang mengadakan festival band religius(?). Apakah ini bentuk perayaan yang kita inginkan? Tidakkah ada niat sedikitpun bagi kita untuk menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai idola tunggal dan contoh terbaik dalam hidup dan kehidupan kita? Apakah dengan beragam perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu kita sudah aman dan selamat dari adzab neraka?
Setiap tahun kita merayakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi begitu perayaan selesai, kita juga selesai dari mengingat keagungan Rasulullah. Bahkan, tidak jarang kita juga menghina dan mencaci-maki Islam dan Rasulullah. Banyak di antara kita juga yang memerangi Islam dan para pengemban dakwah, menghina ulama, padahal sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Yang anehnya, orang-orang yang menghina Islam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini tidak malu untuk mengaku bahwa mereka cinta Rasulullah. Wallahul musta’an. Sungguh, kebohongan dan kedustaan besar apabila kita mengaku cinta pada Allah dan Rasul-Nya tetapi kita tidak mau melaksanakan apa yang diperintahkan.
Oleh karena itu, kita harus memahami dengan benar bahwa kelahiran Muhammad sebagai Nabi dan Rasul bagi seluruh umat adalah sebagai kelahiran hukum-hukum Islam, jihad fi sabilillah dan menegakkan kemuliaan umat Islam di atas umat yang lain. Bukankah Allah telah menyatakan dalam QS. Ali Imran: 110, yakni: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Melakukan perbuatan ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman dengan sebenar-benar iman kepada Allah”.
Inilah sebenarnya hakikat dari mencintai dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, kerugian besar bagi kita apabila melaksanakan perayaan Maulid Nabi, tetapi tidak ada hikmah apapun yang bisa kita petik dari keagungan akhlak beliau. Yang paling penting bagi kita sekarang ini adalah memperdalam ilmu agama dengan benar, memupuk semangat jihad dan meningkatkan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Semoga Allah memenangkan kita di atas umat lainnya. Yakinlah bahwa jika kita menolong agama Allah, maka Allah juga pasti akan menolong kita sebagaimana firman-Nya; “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Allah. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al-Hajj: 40). Wallahu a’lam bish-shawwab.
Advertisement
0 Response to "Menyikapi kelahiran NabI Muhammad SAW"
Post a Comment