Lee Kuan Yew dimataku (1)


SINGAPURA -- Terakhir ke Singapura, aku mampir ke musium air yang terletak di Marina. Paluh kecil yang di bendung untuk reservoar, mengingatkan karya Habibie di Batam dengan waduk Duriangkang, pipa kaviler mengalirkan air laut menjadi tawar oleh karena perbedaan berat jenis.

Tiap ruang kumasuki, satu demi satu kulihat tayangan di monitor saol keberhasilan pembangunan penyediaan air untuk Singapura, agar tak tergantung lagi dari pipa Johor.
Terkagum-kagum melihatnya, sarana bermain untuk warganya, air langsung minum tersedia dimana-mana. Konon ini proyek besar terakhir diresmikan Lee Kuan Yew di masa hayatnya sebelum terbaring karena penyakit yang dideritanya.

Tiga jam lebih kami di arena yang tak habis habis nya hendak dilihat, mengelilingi dan pemandangan indah langsung ke laut Batam. "Berapa biaya parkirnya" tanyaku kepada Shaikh Husein yang membawa kami kesana. Terpampang di layar monitor plang keluar hampir 3 dollar.

"Saya shalat dulu" kata Shaik Husein. Dan kami turun melalui tangga karena hari telah beranjak senja, waktu ashar sudah terlewati. Sebagai pendatang saya sudah jamak takdim tadi di Masjid yang berada di daerah Kembangan.

Tak terlihat tempat khusus untuk shalat di lokasi yang berjam-jam tak habis-habis dikunjungi itu. Tak tahu entah disebelah mana Shaik Husein melaksanakan shalatnya. Kulihat beliau keluar dari belakang toilet. dan kami beranjak pulang.

Tak perlu kuceritakan apa saja yang terpampang di seluruh gedung musium itu, lihat sajalah kalau pun anda sempat datang melihat mesium air Marina itu. Akan beda persepsinya.

Kami diantar langsung oleh Shaik Husein ke Harbour front. teman yang bersama ku agak kurang sehat badannya, jadi kami harus pulang awal-awal, meski sebelum nya rencana mau naik last ferry ke Batam.

Sayangnya terpaksa juga last ferry pulang karena full booking, semua ferry yang ke Batam. Di lantai dua ruang keberangkatan, penuh sesak orang menunggu antri ke check imigrasi. Terlihat ada dua rombongan jamaah umrah dari dua pakaian yang berbeda.

"Sebagian tadi ada yang shalat di atas pesawat" Ujar seorang bapak yang kutanya. Karena mereka sebagian ada yang shalat di merata rata tempat di sela-sela kursi ruang tunggu. Kubaca dari tas tangan dan baju mereka jamaah umrah dari Zulindo. 

Bangunan Harbour front ini bersatu dengan bangunan lainya sampai hampir di depan Masjid Tumenggung Ibrahim di Teluk Belanga. Saya tak tahu berapa luasnya, berapa lantai. Hampir seluruh bangunan ini selama tiga jam pula saya jalani, sambil menunggu last ferry pukul 21.30 waktu setempat. Tak satu pun ruangan khusus di sediakan untuk shalat. (bersambung)







     

Advertisement

0 Response to "Lee Kuan Yew dimataku (1) "

Post a Comment